Sabtu, 29 Januari 2011

TAHAP-TAHAP PEMBUATAN PERJANJIAN INTERNASIONAL


Tahap - Tahap Pembuatan Perjanjian Internasional

Berikut ini adalah tahap – tahap pembuatan Perjanjian Internasional :
1.      Penjajakan 

Merupakan tahap awal yang dilakukan oleh kedua pihak yang berunding mengenai kemungkinan dibuatnya suatu perjanjian internasional.

2.      Perundingan 

Merupakan tahap kedua untuk membahas substansi dan masalah-masalah teknis yang  akan disepakati dalam perjanjian internasional.  Pada tahap perundingan biasanya pihak-pihak yang terlibat dalam perjanjian mempertimbangkan terlebih dahulu materi-materi apa yang hendak dicantumkan dalam perjanjian. Pada tahap ini pula materi yang akan dicantumkan dalam perjanjian ditinjau dari berbagai segi, baik politik, ekonomi maupun keamanan. Tahap perundingan akan diakhiri dengan penerimaan naskah (adoption of the text) dan pengesahan bunyi naskah (authentication of the text). Dalam praktek perjanjian internasional, peserta biasanya menetapkan ketentuan mengenai jumlah suara yang  harus dipenuhi untuk memutuskan apakah naskah perjanjian diterima atau tidak. Demikian pula menyangkut pengesahan bunyi naskah yang diterima akan dilakukan  menurut cara yang disetujui semua pihak. Bila konferensi tidak menentukan cara pengesahan, maka pengesahan dapat dilakukan dengan penandatanganan, penandatanganan sementara, atau dengan pembubuhan paraf.

3.      Perumusan Naskah 

Merupakan tahap merumuskan rancangan suatu perjanjian internasional. Atau merupakan suatu tahap dimana rancangan suatu perjanjian internasional dirumuskan.

4.      Penerimaan

Merupakan tahap menerima naskah perjanjian yang telah dirumuskan dan disepakati oleh para pihak. Dalam perundingan bilateral, kesepakatan atas naskah awal hasil perundingandapat disebut “Penerimaan” yang biasanya dilakukan dengan membubuhkan inisial atau paraf pada naskah perjanjian internasional oleh ketua delegasi masing-masing. Dalam perundingan multilateral, proses penerimaan (acceptance/approval) biasanya merupakan tindakan pengesahan suatu negara pihak atas perubahan perjanjian internasional.

5.      Penandatanganan

Merupakan tahap akhir dalam perundingan bilateral untuk melegalisasi suatu naskah perjanjian internasional yang telah disepakati oleh kedua pihak. Untuk  perjanjian multilateral, penandatanganan perjanjian internasional bukan  merupakan pengikatan diri sebagai negara pihak. Keterikatan terhadap perjanjian internasional dapat dilakukan melalui pengesahan (ratification/accession /acceptance/approval). Penandatanganan suatu perjanjian internasional tidak sekaligus dapat diartikan sebagai pengikatan diri pada perjanjian tersebut.
Penandatanganan suatu perjanjianinternasional yang memerlukan pengesahan, tidakmengikat para pihak sebelum perjanjian tersebut disahkan.Dengan menandatangani suatu naskah perjanjian, suatu negara berarti sudah menyetujui untuk mengikatkan diri pada suatu perjanjian. Selain melalui penandatanganan, persetujuan untuk mengikat diri pada perjanjian dapat pula dilakukan melalui ratifikasi, pernyataan turut serta (acesion) atau menerima (acceptance) suatu perjanjian.
6. Pengesahan Pernjanjian Internasional di
Indonesia
Pembuatan dan pengesahan perjanjian internasional antara Pemerintah Indonesia dengan pemerintah negara-negara lain, organisasi internasional dan subjek hukum internasional lain adalah suatu perbuatan hokum yang sangat penting karena mengikat negara dengan subjek hukum internasional lainnya. Oleh sebab itu pembuatan dan pengesahan suatu perjanjian internasional dilakukan berdasarkan undang-undang.
Sebelum adanya Undang-Undang No. 24 tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional, kewenangan untuk membuat perjanjian internasional seperti tertuang dalam Pasal 11 Undang Undang Dasar 1945, menyatakan bahwa Presiden mempunyai kewenangan untuk membuat perjanjian internasional dengan persetujuan
Dewan Perwakilan Rakyat. Pasal 11 UUD 1945 ini memerlukan suatu penjabaran lebih lanjut bagaimana suatu perjanjian internasional dapat berlaku dan menjadi hukum di Indonesia. Untuk itu melalui Surat Presiden No. 2826/HK/1960 mencoba menjabarkan lebih lanjut Pasal 11 UUD 1945 tersebut.
Pengaturan tentang perjanjian internasional selama ini yang dijabarkan dalam bentuk Surat Presiden No. 2826/HK/1960, tertanggal 22 Agustus 1960, yang ditujukan kepada Ketua Dewan Perwakilan Rakyat, dan telah menjadi pedoman dalam proses pengesahan perjanjian internasional selama bertahun-tahun. Pengesahan perjanjian internasional menurut Surat Presiden ini dapat dilakukan melalui undang-undang atau keputusan presiden, tergantung dari materi yang diatur dalam perjanjian internasional. Tetapi dalam prateknya pelaksanaan dari Surat Presiden ini banyak terjadi penyimpangan sehingga perlu untuk diganti dengan Undang-Undang yang mengatur secara khusus mengenai perjanjian internasional.
Hal ini kemudian yang menjadi alasan perlunya perjanjian internasional diatur dalam Undang-Undang No. 24 Tahun 2000. Dalam Undang Undang No. 24 Tahun 2000, adapun isi yang diatur dalam undang-undang tersebut adalah:
Ketentuan Umum
• Pembuatan Perjanjian Internasional
• Pengesahan Perjanjian Internasional
• Pemberlakuan Perjanjian Internasional
• Penyimpanan Perjanjian Internasional
• Pengakhiran Perjanjian Internasional
Ketentuan Peralihan
Ketentuan Penutup

Dalam pengesahan perjanjian internasional terbagi  dalam empat kategori, yaitu:
1.      Ratifikasi (ratification), yaitu apabila negara yang  akan mengesahkan suatu perjanjian internasional turut menandatangani naskah perjanjian internasional;
2.      Aksesi (accesion), yaitu apabila negara yang akan  mengesahkan suatu perjanjian internasional tidak  turut menandatangani naskah perjanjian;
3.      Penerimaan (acceptance) atau penyetujuan  (approval) yaitu pernyataan menerima atau menyetujui dari negara-negara pihak pada suatu perjanjian internasional atas perubahan perjanjianm internasional tersebut;
4.      Selain itu juga ada perjanjian-perjanjian  internasional yang sifatnyaself-executing  (langsung berlaku pada saat penandatanganan).
Dalam suatu pengesahan perjanjian internasional penandatanganan suatu perjanjian tidak serta merta dapat diartikan sebagai pengikatan para pihak terhadap perjanjian tersebut. Penandatanganan suatu perjanjian internasional memerlukan pengesahan untuk dapat mengikat. Perjanjian internasional tidak akan mengikat  para pihak sebelum perjanjian tersebut disahkan.
Seseorang yang mewakili pemerintah dengantujuan menerima atau menandatangani naskah suatu perjanjian atau mengikatkan negara terhadap perjanjian internasional, memerlukan Surat Kuasa (Full Powers). Pejabat yang tidak memerlukan surat kuasa adalah
Presiden dan Menteri.
Tetapi penandatanganan suatu perjanjianinternasional yang menyangkut kerjasama teknis sebagai pelaksanaan dari perjanjian yang sudah berlaku dan materinya berada dalam lingkup kewenangan suatu lembaga negara atau lembaga pemerintah, baik departemen maupun non-departemen, dilakukan tanpa memerlukan surat kuasa.
Pengesahan perjanjian internasional oleh pemerintah dilakukan sepanjang dipersyaratkan oleh perjanjian interansional tersebut. Pengesahan suatu perjanjian internasional dilakukan berdasarkan ketetapan yang disepakati oleh para pihak. Perjanjian internasional yang memerlukan pengesahan mulai berlaku setelah terpenuhinya prosedur pengesahan yang diatur dalam undang-undang
Pengesahan perjanjian internasional dilakukan dengan undang-undang atau keputusan Presiden.
Pengesahan dengan undang-undang memerlukan persetujuan DPR. Pengesahan dengan keputusan Presiden hanya perlu pemberitahuan ke DPR. Pengesahan perjanjian internasional dilakukan melalui undang-undang apabila berkenaan dengan:
• masalah politik, perdamaian, pertahanan, dan keamanan negara;
• perubahan wilayah atau penetapan batas wilayah negara;
• kedaulatan atau hak berdaulat negara;
• hak asasi manusia dan lingkungan hidup;
• pembentukan kaidah hukum baru;
• pinjaman dan/atau hibah luar negeri.
Di dalam mekanisme fungsi dan wewenang, DPR dapat meminta pertanggung jawaban atau keterangan dari pemerintah mengenai perjanjian internasional yang telah dibuat. Apabila dipandang merugikan kepentingan nasional, perjanjian internasional tersebut dapat
dibatalkan atas permintaan DPR, sesuai dengan ketentuan yang ada dalam undang-undang No. 24 tahun 2000. Indonesia sebagai negara yang menganut paham dualisme, hal ini terlihat dalam Pasal 9 ayat 2 UU No. 24 tahun 2000, dinyatakan bahwa:
”Pengesahan perjanjian internasional sebagaimana dimaksud dalam ayat(1) dilakukan dengan undang- undang atau keputusan presiden.”Dengan demikian pemberlakuan perjanjian internasional ke dalam hukum nasional indonesia tidak serta merta. Hal ini juga memperlihatkan bahwa Indonesia memandang hukum nasional dan hokum internasional sebagai dua sistem hukum yang berbeda dan terpisah satu dengan yang lainnya.
Perjanjian internasional harus ditransformasikan menjadi hukum nasional dalam bentuk peraturan perundang-undangan. Perjanjian internasional sesuai dengan UU No. 24 tahun 2000, diratifikasi melalui undang-undang dan keputusan presiden. Undang- undang ratifikasi tersebut tidak serta merta menjadi perjanjian internasional menjadi hukum nasional Indonesia, undang-undang ratifikasi hanya menjadikan Indonesia sebagai negara terikat terhadap perjanjian internasional tersebut. Untuk perjanjian internasional
tersebut berlaku perlu dibuat undang-undang yang lebih spesifik mengenai perjanjanjian internasional yang diratifikasi, contoh Indonesia meratifikasi International
Covenant on Civil and Political Rights melalui undang- undang, maka selanjutnya Indonesia harus membuat undang-undang yang menjamin hak-hak yang ada di
covenant tersebut dalam undang-undang yang lebih spesifik. Perjanjian internasional yang tidak mensyaratkan pengesahan dalam pemberlakuannya, biasanya memuat materi yang bersifat teknis atau suatu pelaksana teknis terhadap perjanjian induk. Perjanjian internasional seperti ini dapat lansung berlaku setelah penandatanganan atau pertukaran dokumen
perjanjian/nota diplomatik, atau melalui cara lain yang disepakati dalam perjanjian oleh para pihak. Perjanjian yang termasuk dalam kategori ini diantaranya adalah perjanjian yang materinya mengatur secara teknis kerjasama bidang pendidikan, sosial, budaya, pariwisata, penerangan kesehatan, pertanian, kehutanan dan kerjasam antar propinsi atau kota. Perjanjian internasional mulai berlaku dan mengikat para pihak setelah memenuhi ketentuan yang ditetapkan dalam perjanjian tersebut.


7. Tukar – menukar naskah ratifikasi
Ratifikasi adalah pengesahan naskah perjanjian internasional yang diberikan oleh badan yang berwenang di suatu negara. Dengan demikian, meskipun delegasi negara
yang bersangkutan sudah menandatangani naskah perjanjian, namun negara yang diwakilinya tidak secara otomatis terikat pada perjanjian. Negara tersebut baru terikat pada materi perjanjian setelah naskah perjanjian tersebut diratifikasi.
Badan mana yang berwenang meratifikasi perjanjian internasional menjadi persoalan intern negara yang bersangkutan. Untuk Indonesia misalnya wewenang itu dipegang oleh Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. Hal ini merujuk pada pasal 11 Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan: "Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat membuat perjanjian dengan negara-negara lain".
8 . Penyimpanan Perjanjian Internasional

Penyimpanan Perjanjian Internasional ini mengatur tentang kewenangan Menteri Luar Negeri sebagai pejabat yang bertugas dan memelihara naskah asli perjanjian internasional yang dibuat Pemerintah Indonesia serta tugas Menteri Luar Negeri untuk
memberitahukan dan menyampaikan salinan naskah resmi suatu perjanjian internasional yang telah dibuat oleh Pemerintah Indonesia kepada sekretariat organisasi internasional dimana Pemerintah Indonesia menjadi anggota.

penyimpanan perjanjian internasional dalam pasal 17 :
Pasal 17
1.      Menteri bertanggung jawab menyimpan dan memelihara naskah asli perjanjian internasional yang dibuat oleh Pemerintah Republik Indonesia serta menyusun daftar naskah resmi dan menerbitkannya dalam himpunan perjanjian internasional.
2.      Salinan naskah resmi setiap perjanjian internasional disampaikan kepada lembaga negara dan lembaga pemerintah, baik departemen maupun non departemen pemrakarsa.
3.      Menteri memberitahukan dan menyampaikan salinan naskah resmi suatu perjanjian internasional yang telah dibuat oleh Pemerintah Republik Indonesia kepada sekretariat organisasi internasional yang di dalamnya Pemerintah republik Indonesia menjadi anggota.
4.      Menteri memberitahukan dan menyampaikan salinan piagam pengesahan perjanjian internasional kepada instansi-instansi terkait.
9. pendaftaran dan pengumuman
perjanjian internasional
Naskah yang telah jadi sebelum diumumkan, harus didaftarkan terlebih dahulu kepada PBB. Setelah pendaftaran tersebut selesai, barulah naskah perjanjian yang dibuat itu diumumkan keseluruh Indonesia.

10. Syarat sahnya Perjanjian
Tahapan pembuatan perjanjian meliputi :
a)      perundingan dimana negara mengirimkan utusannya ke suatu konferensi                                   bilateral maupun multilateral;
b)      penerimaan naskah perjanjian (adoption of the text) adalah penerimaan isi naskah
perjanjian oleh peserta konferensi yang ditentukan dengan persetujuan dari semua peserta melalui pemungutan suara;
c)      kesaksian naskah perjanjian (authentication of the text),merupakan suatu tindakan
formal yang menyatakan bahwa naskah perjanjian tersebut telah diterima konferensi. Pasal 10 Konvensi Wina, dilakukan menurut prosedur yang
terdapat dalam naskah perjanjian atau sesuai dengan yang telah diputuskan oleh
utusan-utusan dalam konferensi. Kalau tidak ditentukan maka pengesahan dapat
dilakukan dengan membubuhi tanda tangan atau paraf di bawah naskah perjanjian.
d)      persetujuan mengikatkan diri (consent to the bound),diberikan dalam bermacam cara tergantung pada permufakatan para pihak pada waktu
mengadakan perjanjian, dimana cara untuk menyatakan persetujuan adalah sebagai berikut :
a)      penandatanganan,

Pasal 12 Konvensi Wina menyatakan :

·         persetujuan negara untuk diikat suatu perjanjian dapat dinyatakan dalam bentuk tandatangan wakil negara tersebut;
·         bila perjanjian itu sendiri yang menyatakannya;
·         bila terbukti bahwa negara-negara yang ikut berunding menyetujui demikian;
·         bila full powers wakil-wakil negara menyebutkan demikian atau dinyatakan dengan jelas pada waktu perundingan.

b)      pengesahan,
melalui ratifikasi dimana perjanjian tersebut disahkan oleh badan yang berwenang di negara anggota.
Agar suatu Perjanjian dapat menjadi sah dan mengikat para pihak, perjanjian harus
memenuhi syarat-syarat sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 1320 BW yaitu :
1.      sepakat mereka yang mengikatkan dirinya; 

Kata “sepakat” tidak boleh disebabkan adanya kekhilafan  mengenai hakekat barang  yang menjadi pokok persetujuan atau kekhilafan  mengenai diri pihak lawannya dalam  persetujuan yang dibuat terutama mengingat dirinya  orang tersebut; adanya paksaan  dimana seseorang melakukan perbuatan karena takut  ancaman (Pasal 1324 BW);  adanya penipuan yang tidak hanya mengenai kebohongan  tetapi juga adanya tipu  muslihat (Pasal 1328 BW). Terhadap perjanjian yang  dibuat atas dasar “sepakat”  berdasarkan alasan-alasan tersebut, dapat diajukan  pembatalan.

2.      cakap untuk membuat perikatan; Pasal 1330 BW menentukan yang tidak cakap untuk membuat perikatan :

a.       Orang orang yang belum dewasa
b.      Mereka yang ditaruh dibawah pengampuan
c.       Orang-orang perempuan, dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undang-undang, dan  pada umumnya semua orang kepada siapa undang-  undang telah melarang  membuat perjanjian-perjanjian tertentu. Namun berdasarkan fatwa Mahkamah Agung, melalui Surat Edaran Mahkamah Agung No.3/1963  tanggal 5 September  1963, orang-orang perempuan tidak lagi digolongkan  sebagai yang tidak cakap.  Mereka berwenang melakukan perbuatan hukum tanpa  bantuan atau izin suaminya.

3.      suatu hal tertentu;  

Perjanjian harus menentukan jenis objek yang  diperjanjikan. Jika tidak, maka  perjanjian itu batal demi hukum. Pasal 1332 BW  menentukan hanya barang-barang  yang dapat diperdagangkan yang dapat menjadi obyek  perjanjian, dan berdasarkan  Pasal 1334 BW barang-barang yang baru akan ada di  kemudian hari dapat menjadi  obyek perjanjian kecuali jika dilarang oleh undang-undang  secara tegas.

4.      suatu sebab atau causa yang halal.  

Sahnya causa dari suatu persetujuan ditentukan pada saat perjanjian dibuat. Perjanjian tanpa causa yang halal adalah batal demi       hukum, kecuali ditentukan lain oleh undang-undang. Syarat pertama dan kedua menyangkut subyek, sedangkan syarat ketiga dan keempat mengenai obyek. Terdapatnya cacat kehendak (keliru, paksaan, penipuan) atau tidak cakap untuk membuat perikatan, mengenai subyek mengakibatkan perjanjian dapat dibatalkan. Sementara apabila syarat ketiga dan keempat mengenai obyek tidak terpenuhi, maka perjanjian batal demi hukum.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 

Postingan Populer

Pengikut



Suka-Suka Copyright © 2009. Template created by Nadiar supported by Cara Beriklan di Internet